Tagarkini.com – Nilai tukar rupiah pada perdagangan perdana di awal tahun 2023 berpotensi dibuka fluktuatif dan cenderung melemah hal ini seiring dengan sorotan para investor global terhadap outlook suku bunga Bank Sentral Federal Reserve di 2023 dan juga kekhawatiran dari pembukaan pembatasan Covid-19 di China yang alami kegagalan.
Sebelumnya, rupiah menutup tahun 2022 dalam kondisi penguatan di hadapan dolar AS pekan lalu, pada Jumat (30/12/2022). Dikutip dari Bloomberg, rupiah ditutup menguat sebesar 0,54 persen atau 85 poin ke Rp15.572,5 per dolar AS.
Tim Analis Monex Investindo Futures (MIFX) menyebutkan bahwa walau sentimen kenaikan suku bunga The Fed masih terbilang tinggi, tetapi dibandingkan dengan kebijakan yang sudah diambil selama tahun 2022 ini, langkah The Fed pada 2023 dipandang jauh lebih pasif daripada sebelumnya.
“Hal ini menekan dolar AS, dan meningkatkan minat pasar pada aset mata uang utama lainnya dan juga logam emas,” ungkap seorang Tim Analis MIFX dalam risetnya beberapa waktu lalu.
Selain itu, Lionel Priyadi selaku Macro Equity Strategist Samuel Sekuritas Indonesia mengatakan bahwa aksi beli juga terjadi di pasar obligasi negara maju yang tercermin dari turunnya imbal hasil (yield) obligasi pemerintah AS dan obligasai tenor panjang 10-tahun masing-masing sebesar 7 dan 6 bps menjadi 3,81 persen dan 2,44 persen.
Indeks dolar AS, yang mengukur greenback terhadap sekeranjang mata uang, telah melonjak lebih dari 8 persen di tahun ini, hal ini terbesar sejak 2015. The Fed telah menaikkan suku bunga dengan total 425 basis poin sejak Maret 2022 guna mengekang lonjakan inflasi.
Selanjutnya, Direktur dari PT Laba Forexindo Berjangka yakni Ibrahim Assuaibi mengatakan kenaikan dolar AS mulai melambat setelah naiknya imbal hasil treasury AS jangka panjang. Meski demikian, investor masih tetap khawatir akan kemungkinan bahwa optimisme pada pembukaan pembatasan Covid-19 di China alami kegagalan.
“Selain itu, Ketidakpastian atas prospek ekonomi global, bersama dengan meningkatnya kekhawatiran tentang resesi di Amerika Serikat, membuat imbal hasil Treasury dua tahun, yang biasanya bergerak sejalan dengan ekspektasi suku bunga, tergelincir,” kata Ibrahim dalam keterangannya belum lama ini.
Sementara untuk perekonomian Indonesia masih terbilang solid sepanjang pada 2022. Hal ini tidak terlepas dari langkah dan strategi yang diterapkan oleh pemerintah.
Adanya upaya untuk menjaga permintaan domestik membuat keyakinan pelaku ekonomi, dan juga daya beli masyarakat semakin terjaga. BI juga disebut terus melakukan intervensi secara berkala di pasar valas dan juga obligasi di perdagangan DNDF yang membuat nilai tukar rupiah terjaga.
“Tahun 2023 mendatang, walaupun pergerakannya melambat, hal tersebut sejalan dengan perlambatan pertumbuhan ekonomi global,” singkat Ibrahim.
Terkait dengan adanya potensi resesi tahun 2023, Ibrahim juga mengatakan ada beberapa indikator yang dapat mempengaruhi perlambatan ekonomi global, tetapi membawa sentimen positif bagi Indonesia. Salah satunya adalah perang antara Rusia-Ukraina yang menyebabkan kurangnya pasokan energi di banyak negara.
Lebih dari 50 persen energi dalam negeri didorong oleh batubara yang pertumbuhannya positif. Sementara untuk Indonesia sendiri memiliki cadangan batubara sebesar 37 miliar ton.
“Dari sisi ekspor pun telah didorong oleh adanya ekspor CPO, batubara, besi, dan baja. Dalam skala nasional, spasial ekspor ditopang dengan sangat baik oleh sejumlah wilayah,” ujar Ibrahim.
Untuk perdagangan di awal tahun 2023 ini, Ibrahim memperkirakan rupiah dibuka fluktuatif, namun kemungkinan ditutup melemah pada rentang nilai Rp15.630 – Rp15.730.